Rabu, 22 Januari 2014

RESENSI BUKU



RESENSI BUKU
Judul Buku      : Guru Besar Bicara
“Mengembangkan  Keilmuan Pendidikan Islam”
Penulis             : Prof. Drs. H. Ahmad Ludjito. dkk
Editor              : M. Rikza Chamami dkk
Penerbit           : RaSAIL Media Group bekerja sama dengan FITK IAIN WALISONGO Semarang
Cetakan           : Pertama, September 2010
Tebal               : xx + 365 halaman ; 14 ×20 cm
Resentator       : Agung Suprayitno (133111051)

MEJAWAB BERBAGAI MASALAH PENDIDIKAN ISLAM
Buku ini merupakan hasil dari kumpulan karya ilmiah yang memuat pemikiran-pemikiran dan kajian para Guru Besar Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang. Buku ini manjadi terasa istimewa karena karya ilmiyah yang diterbitkan dalam buku ini merupakan pilihan karya terbaik yang dihasilkan oleh para Guru Besar dan merupakan pilihan karya ilmiyah yang ter baik yang dihasikan para guru besar yang diambil dari naskah pengukuahan guru besar dari masing-masing penulis. Buku ini merupakan gagasan brilliant tujuh Guru Besar fakultas Tarbiyah IAIN Walisong Semarang. Yng terdiri dari Lima Guru Besar pedidikan Islam, Satu Guru Besar Sejarah dan Satu Guru Besar Ilmu Hadist. Buku ini menjawab berbagai tantangan yang di hadapi pendidikan Islam Islam yang sedag mengelora. Buku ini terdiri dari tujuh bab yang setiap babnya di karang oleh Guru Besar yang berdeda-beda.
Prof. Drs. H. Ahmad Lujito mencoba membuat terobosan dengan perlunya guru agama merangkap sebagai guru  pancasila. Hal ini untuk menjaga keserasian antara agama dan pendidikan kewarganwgaraan di perlukan adanya koordinasi konsultasi substansial antara guru agama dan guru kewarganegaran.
Dalam karyanya “Pendekatan Intergralistik dalam Implementasi pendidikan agama pada Pendidikan Sekolah di Indonesia”, Prof. Ludjito menegaskan bahwa moral, budi pekerti atau akhlaq merupakan aktualisasi (amal)  dari agama; karenanya diperlukan adanya berbagai upaya berbagai uapaya secara terpadu oleh keluarga, sekolah dan masyarakat lewat berbagai proses: ndividuasi, sosialisasi, enkulturasi maupun motivasi nilai-nilai agama; keteladanan dan suasana religius akan sangat membantu. Untuk menjaga itu maka, kualitas dan wawasan guru agama perlu ditngkatkan.
Prof. H. Abdurrahman Mas’ud MA, Ph.D dalam karyanya “Membuka Lembaran Baru Dialog Islam-Barat Telaah Teologis-Historis” menyamopaikan perlunya menciptakan iklim yang sehat bagi tumbuhnya dialog, renewal dan gagasan-gagasan segar dilingkungan kita khususnya, dan masyarakat akademis Indonesia pada umumnya sesuai dengan landasan teologis dan historis Islam yang ideal dan pentingnya menda’wahkan Islam humanis yang berpihak pada kemanusiaan dan keadilan, kedamaian, toleransi, saling menghargai perbedaan antara umat manusia, dan antar bangsa.
Selama ini ada anggapan yang berkembang dalam masyarakat kita cenderung menyempitkan makna pendidikan islam. Disatu sisi pendidikan islam hanya dijadikan sebagai pendidikan agama atau khusus keagamaan. Di sisi lain, pendidikan islam hanya dibatasi pada lembaga pendidikan yang menggunakan predikat islam atau pendidikan yang dikelola oleh sekelompok umat islam. Prof. Dr. H. Achmadi meluruskan arti dari salah paham itu dalam karyanya “Dekonstruksi Pendidikan Islam Sebagai Sub Sistem Pendidikan Nasional”.
Prof.Dr. H. Moh. Erfan Soebahar, MA.g dalam karyanya “Respons Muhadditsun Menghadapi Tantangan Kehidupan Umat: Studi Tentang Hadits Sebagai Sumber Ajaran Keagamaan Era Nabi, Kodifikasi dan Informasi: melihat masih banyak problema hadits tentang pendidikan. Namun penerapan hadits yang suda dijadikan sumber nilai itu kadang masih di salah mengerti. Hal itu misalnya tradisi suka mengutip hadis maudlu masih tampil dalam mendukung penyataan dosen.
Karya Prof. Dr. H. Ibnu Hajar, M.Ed “Evaluasi Hasil Belajar Avektif Pendidikan Agama: Konsep dan Pengukuran” mencoba untuk menjawab problem evaluasi dalam pendidikan islam yang dinilainya masih lemah dalam hal afektifnya. Dunia pendidikan selalu diwarnai dengan polemik tentang hasil ujian siswa terutama menjelang pendidikan, yang secara rutin dilaksanakan di akhir dan awal akademik.
Dr. H. Muhtarom HM dalam karyanya “Pendidikan Islam di Tengah Pergumulan Budaya Kontemporer” menyatakan revitalisasi keilmuan Islam tidak saja didasarkan pada faktor kewajiban dan penghargaan tingginya nilai ilmu pengetahuan, melainkan juga karena bangkitnya kesadaran untuk merespon kegunaan budaya teknologi yang sekularistik dan tidak memberikan arti sepiritual.
Prof. Dr. H. Djamaluddin Darwis, MA dalam karyanya “Hidden Curriculum” dalam Perspektif Pendidikan Islam” memberikan penjelasan arti penting “Hidden Curriculum” Tujuan yang lebih berorientasi pada pemahaman keagamaan dalam rangka untuk membentuk sikap beragama lebih dapat dikembangkan lewat keterlibatan semua unsur warga belajar dan lewat penciptaan situasi yang kondusif dalam bentuk hidden curriculum. Bentuk kurikulum ini diharapkan lebih mampu mengantarkan peserta didik keproses pembelajaran yang lebih efisien dan lebih efektif dengan mengoptimalkan semua sumber belajar baik sumber belajar manusia seperti dosen, guru, kyai, ustadz atau hubungan sesama peserta belajar, optimalisasi semua sarana simbolik baik bersifat fisik maupun penciptaan situasi psikologi dan sosial yang mendukung.
Sungguh buku yang luar biasa untuk dibaca. Akan tetapi dalam pencetakannya terdapat kata-kata yang mungkin sulit dipahami oleh kaum awam alangkah baiknya ditulis  kata penjelas, masih terdapat kata-kata mubadzir yang seharusnya tidak perlu untuk ditulis, juga perbedaan penggunaan font dan size dalam bab awal dan terakhir, serta penulisan kata yang tidak sesuai dengan EYD. Namun kesalahan tersebut tidak akan mengurangi isi dari buku yang terkandung dalam buku ini

MEMBENTUK MENTAL MAHASISWA ANTI KORUPSI



MEMBENTUK MENTAL MAHASISWA ANTI KORUPSI
Nama  :Agung Suprayitno
Nim     :133111051
            Saat ini korupsi telah mewabah hampir kepada seluruh sendi kehidupan bangsa Indonesia, korupsi sebagai masalah yang amat pelik di negeri ini. Meluasnya korupsi hingga ke tatanan struktural masyarakat yang terendah atau semakin besarnya kuantitas dana yang dikorupsi menjadi peringatan bahwa daya perlawanan terhadap korupsi harus ditingkatkan. Korupsi merupakan delik perkara yang terkait dengan kerugian keuangan negara, penyuapan (pemberian sesuatu/janji kepada penyelenggara negara), penggelapan dalam jabatan, perbuatan pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan barang/jasa, dan gratifikasi.
            Di tahun 2013 yang disampaikan dalam Indeks Persepsi Korupsi tahun 2013, yang dibuat oleh badan pengawas korupsi Transparency International. Dalam laporan tersebut, badan ini menempatkan Selandia Baru dan Denmark menduduki posisi teratas, dengan skor 91 dari 100. Sementara Indonesia menempati urutan 114. Peringkat korupsi ini semakin menunjukan kelas Indonesia dalam kancah korupsi di dunia International yang sungguh membuat miris. Korupsi di negeri ini memang sudah sampai ditingkat dan level emergency. Contoh kecil saja korupsi hambalang yang sampai merugikan negara 500 milyar. Itu hanya kasus hambalang belum lagi kasus-kasus korupsi yang lain. Berkaca dari peringkat dan kasus yang terjadi, tentu saja kita sangat malu. Dahulu kala kita pernah menjadi negara yang disegani di Asia Tenggara. Peringkat ini sedikit banyak menjatuhkan reputasi kita di kawasan Asia dan dunia.
Kesadaran dan karakter anti-korupsi harus dibangun melalui pemahaman dan pembentukan budaya masyarakat muda yang secara tegas menjauhi segala bentuk korupsi.
Dari para mahasiswa sebagai ujung tombak pembaruan dan perubahan yang ,menjadi harapan tumpuan bangsa Indonesia diharapkan mampu membentuk generasi anti-korupsi yang bertahan sejak dini hingga ketika menjabat di kepemimpinan bangsa kelak.
Perlu dirancang suatu konsep gerakan anti-korupsi bagi mahasiswa Indonesia. Memang tepat jika memberikan pendidikan anti korupsi diterapkan untuk membangun mental mahasiswa yang anti korupsi. Bukan suatu hal yang salah jika pemerintah menetapkan lembaga pendidikan sebagai ’bengkel’ perbaikan moralitas bangsa.  Lembaga pendidikan adalah pilihan tepat sebagai gardu terdepan pembentukan karakter bangsa. Utamanya pendidikan karakter, dihadirkan atas dasar kegalauan melihat realitas kehidupan yang terindikasi mengalami degradasi moral, termasuk mental korup yang membudaya di masyarakat. Dengan demikian, maka pendidikan antikorupsi menjadi hal yang mendesak dilaksanakan. Melalui pendidikan, mahasiswa selain dibekali pengetahuan juga didorong untuk mau menerapkan nilai-nilai antikorupsi. Setelah tahu apa itu korupsi dan bagaimana dampaknya, diharapkan mahasiswa memiliki kesadaran untuk menularkan sikap antikorupsi yang dimiliki kepada lingkungan di sekitar.
Peran melawan korusi melalui pendidikan memang bukan satu-satunya cara pencegahan korupsi di Indonesia. Melawan korupsi juga membutuhkan dari pihak lain baik itu pemerintah yang mempunyai lembaga pemberantasan korupsi baik melalui masyarakat, otang tua.